Senin, 12 Desember 2016

Kue Apem, Cemilan Syarat Makna dari Tanah Jawa

                   Berbicara mengenai makanan khas Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari jenis makanan yang satu ini. Ya, jajan pasar atau yang terkadang disebut kue basah. Meskipun kebanyakan porsinya memiliki ukuran kecil namun tidak ada salahnya kita mengenal dan mencoba apa saja jajan pasar yang ada di Indonesia. Seperti namanya, jajanan pasar ini biasa diperjual belikan kebanyakan di pasar tradisional atau tidak jarang ada yang membuatnya sendiri di rumah. Kebanyakan jajanan pasar yang disajikan rasanya manis, akan tetapi banyak juga jajanan pasar yang rasnaya asin dan gurih.
                      Kali ini, jenis jajanan pasar yang akan kita ulik adalah mengenai kue Apem. Nama kue ini mungkin sudah terdengar tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, khususunya masyarakat jawa. Kue apem merupakan kue yang terbuat dari tepung beras, gula, dan santan yang difermentasi dengan ragi atau tape untuk selanjutnya dipanggang dengan menggunakna wajan kecil atau cetakan apem. 


Lalu bagaimana asal mula kue apem ada di Indoensia? 

              Berdasarkan beberapa sumber, kue apem ini muncul berawal dari seorang ulama bernama Kyai Ageng Gribig. Beliau merupakan ulama yang berasal dari Jatinom, Klaten. Kua apem ini muncul ketika Kiyai Ageng Gribing yang baru menyelesaikan ibadah hajinya tepatnya pada 15 safar 1511 H. Sesaat pulang dari tanah suci beliau membawa beberapa buah tangan diantaranya air zamzam, tanah dari padang arafah, dan kue sejenis roti. Para jamaah beliau saat pengajian memimta oleh-oleh dari tanah suci, dikarenakan hanya membawa sedikit oleh-oleh yang berupa makanan yaitu kue sejenis roti tersebut dan dicampur dengan apem maka beliau menyuruh istrinya yang bernama Nyai Ageng untuk memperbanyak kue yang terbuat dari tepung beras tersebut dikarenakan jamaah yang begitu banyak. Kue apem berasal dari kata "apem" yang dalam bahasa arab berarti "affun" atau dalam bahasa Indoensia artinya adalah ampunan. Sehingga diharapkan saat pengajian tersebut jamaah dapat memaknai bahwa kue apem dapat menjadi perantara untuk saling memaafkan dan meminta ampunan dosa dari Allah. 
                     

                     Kue apem ini kemudian digunakan pada upacara Yaa Qowiyyu. Dalam perayaan tersebut apem merupakan salah satu yang menjadi ciri khas pada saat acara tersebut berlangsung. Upacara tersebut dinamanan Yaa Qowiyyu dikarenakan diambil dari doa Kyai Ageng Gribig saat menutup pengajian yaitu yang berbunyi : Ya Qowiyu Yaa Aziz Qowina wal Muslimin yang jika diartikan dalam bahasa indoensia adalah Ya Tuhan, dzat yang maha kuat, Ya Allah dzat yang maha menang, mudah-mudahan meberikan kekuatan kepada kami dan kaum muslimin. Hingga saat ini upacara tersebut menjadi kegiatan turun temurun yang masih dilaksanakan setahun sekali pada hari jumat pertengahan bulan syafar. Adapun manfaat dari diadakannya upacara Yaa Qowiyyu ini adalah agar manusia sebagai mahluk Allah senantiasa selalu memberikan ampunan dan selalu bisa memberikan maaf antara umat mnausia. Makna simbol apem dari upacara ini adalah antar sesama manusia selalu bisa saling bermaafan dan selalu bisa menerapkan berprilaku hidup rukun antar sesama umat. 


Upacara Yaa Qowiyyu ini dimulai dengan pengajian yang dilaksakan di mesjid Gedhe sebelum hari jumat yaitu malam jumat. Selanjutnya esok harinya dilakukan upacara mendoakan kue apem yang sudah berbentuk gunungan pada saat setelah shalat jumat. Kemudian gunungan apem tersebut diarak untuk dilakukan proses pelemparan apem di sekitar kawasan makam Kyai Ageng Gribing. Penyebaran apem yang pertama dilakukan oleh Bupati Klaten yang kemudian dilanjutkan oleh tim penyebar kue apem. Warga sekitar percaya, barang siapa yang mendapatkan apem tersebut dapat membawa kesejahteraan bagi yang mendapatkannya. Konon kue apem ini dapat dijadikan sebagai tolak bala atau syarat berbagai tujuan tertentu. Bahkan ada yang percaya bahwa barang siapa yang mendapatkan banyak apem akan mendapatkan rezeki yang melimpah. 

Referensi :
Handayani, N.M. 2015. Sebar Apem "Yaa Qowiyyu". Fakultas Seni dan Desain. ISI. Surakarta
Islami, M.E. 2014. Simbol dan Makna Ritual Yaqowiyu di Jatinom Klaten. Jurnal Media Wisata. Vol 12 No 3. 
Sumaiyah, L. 2014. Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Adat Yaqowiyu serta Pengembangan Produk Apem sebagai Salah Satu Alternatif Kuliner daerah Klaten. Fakultas Teknik. UNY. Yogyakarta



Minggu, 11 Desember 2016

Kue Keranjang, Si Legit dari Tionghoa

           Setiap adanya suatu perayaan tertentu pasti tidak lepas dari makanan khas yang disajikan dalam perayaan tersebut. Imlek merupakan perayaan tahun baru Cina. Pada perayaan imlek ini disajikan beragam kudapan salah satunya yaitu kue keranjang. Kue kerangjang ini merupakan kudapan khas taun baru imlek yang cukup familiar bahkan terkenal juga di kalangan warga yang bukan Tionghoa. Hal tersebut dikarenakan memang selain kue keranjang merupakan ciri khas kudapan dari perayaan imlek selain itu banyak yang menjajakan kue tersebut bahkan hingga ada yang berjualan keliling. 


           Dalam budaya Tionghoa kue keranjang tersebut disebut juga Nian Gao (年糕) atau dalam dialek Hokkian Ti Kwe (甜棵)Kue keranjang sendiri merupakan kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula. Tekstur dari kue ini kenyal dan lengket hampir menyerupai dodol. Kue ini dinamakan kue keranjang karena wadah cetaknya berbentuk keranjang. Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, tujuh hari menjelang tahun baru Imlek (廿四送尫 Ji Si Sang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang tahun baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah tahun baru Imlek).

           Tradisi adanya kue keranjang pada perayaan Imlek berawal dari kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa setiap dapur dijaga oleh dewa tungku yang mengawasi kegiatan masak memasak di suatu rumah yang nantinya akan dilaporkan pada Raja di surga yaitu Yi Huan Shang. Pada akhir tahun tepatnya tanggal 24 bulan 12 Imlek dewa tungku akan pergi ke surga dan melaporkan apa yang terjadi di masing-masing dapur warganya. Agar dewa tungku hanya melaporkan hal-hal yang baik saja kepada Raja di surga maka warga berinisiatif untuk membuat kudapan untuk dewa tersebut. Akhirnya warga berinisiatif untuk membuat kue berasa manis yang dibuat di kernjang yang kini sering disebut kue keranjang. 






         Bentuk kue keranjang yang bulat memiliki filosofi atau makna tersendiri, yaitu keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat berkumpul (minimal) satu tahun sekali setiap perayaan Imlek serta tetap menjadi keluarga yang bersatu, rukun, bulat tekad dalam menghadapi tahun baru yang akan datang. Cara menyusun kue keranjang yang semakin meningkat juga memiliki makna tersendiri. Apabila tingkatan tersebut makin ke atas maka kue yang disusun semakin kecil juga ukurannya, hal tersebut memberikan makna adanya peningkatan dalam hal rezeki dan kemakmuran. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kue keranjang yang disusun hal tersebut menunjukan bahwa orang yang membuat kue tersebut semakin makmur. Pada zaman dahulu tingginya kue keranjang menggambarkan kemakmuran suatu keluarga. Kue keranjang biasanya disusun ke atas dengan kue mangkong berwarna merah di bagian atasnya. Kue mangkong tersebut melambangkan simbol kehidupan manis yang menanjak dan mekar seperti kue mangkok.


REFERENSI


Anonim. 2016. Diakses dari http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/2011-2-01290-DS%20Bab1001.pdf


Bhadra Bodhi. 2013. ITB. bandung Diakses dari http://www.kmbitb.org/kmb/public/Bhadra%20Bodhi/Agustus2013.pdf


Fu Chunjiang, 2001, Origins Of Chinese, Jakarta: PT Elek Medi Komputindo. Hal 1

Lan Fung Yu, 1996, Sejarah Ringkas Filsafat China, Yogyakarta: Liberty. Hal 34-35










Kamis, 01 Desember 2016

Mengulik Sejarah dan Filosofi Ayam Ingkung

                Ayam Ingkung?
                Mungkin saat pertama kali mendengar nama makanan tersebut ada beberapa diantara kalian yang belum pernah mendengar nama makanan tersebut atau hanya mendengar selintas saja.
Bagi masyarakat jawa khususnya Yogyakarta makanan ini pasti sudah tidak asing lagi bagi mereka. Ya memang makanan ini merupakan ciri khas makanan yang berasal dari kota yang terkenal akan gudeg dan bakpianya tersebut.



Lalu sebenerarnya, apakah yang dimaksud Ayam Ingkung?


          Ayam ingkung merupakan kuliner tradisional khas Jawa yang berbahan dasar ayam yang dimasak secara utuh dengan bumbu-bumbu tertentu. Ayam ingkung umumnya hanya disajikan pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti upacara keagamaan, peringatan hari besar, wujud rasa syukur (selametan), dan upacara peringatan kematian. Bahan-bahan dasar pembuatan ayam ingkung juga tidak luput dari filosofi dan simbolisasi sehingga diperlukan kajian lebih mendalam untuk melestarikan kuliner khas Jawa tersebut. 

Bagaimana sejarah Ayam Ingkung hingga ada di Indonesia?


              Sejarah ayam ingkung tidak pernah diketahui awal mula ayam ingkung digunakan.                        Namun, jika dirunut dari zaman dahulu, ayam merupakan binatang yang paling dekat untuk               dipelihara dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia. Masyarakat Jawa di pedesaan          memiliki pranjen (kandang ayam) yang letaknya tidak terpisahkan dengan pekarangan rumah.            Ayam memiliki posisi penting dalam kegiatan ritual masyarakat jawa.
Dalam salah satu kajian yang diterbitkan oleh jurnal Nutrition and Food Science disebutkan bahwa ayam ingkung berasal dari kata “manengkung" yang berarti berdoa kepada Tuhan dengan kesungguhan hati. Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa ayam ingkung merupakan salah satu komponen pokok dalam tumpeng sehingga sejarahnya pun memang tidak terlepas dari sejerah perkembangan tumpeng. Diyakini bahwa awal adanya tradisi tumpeng (termasuk ayam ingkung) adalah antara 5-15 abad yang lalu karena fakta bahwa, selama waktu itu, kerajaan Jawa dipengaruhi oleh agama Hindu (Taylor, 2003 dalam Jati, 2014). Sementara itu, simbol-simbol di Tumpeng seperti beras gunung berbentuk, warna dan bahan-bahan yang dikenal sebagai refleksi dari agama Hindu (Pasha, 2015).
Menurut Dewi (2011) istilah ayam ingkung disebutkan pada Serat Centhini II dalam pembahasan mengenai iwak pitik (daging ayam). Iwak pitik dalam masakan Jawa umumnya diolah menjadi ingkung, opor, digoreng, betutu, tim dan sebagainya. Iwak pitik juga dijadikan sebagai sesaji (uba rampe) selain dimasak untuk keperluan sehari-hari. 

Filosofi apa yang terkandung dalam Ayam Ingkung?


Ayam ingkung juga merupakan simbol dari kenikmatan yakni berupa kenikmatan dapat hidup didunia sehingga sudah sewajarnya manusia harus bersyukur kepada Tuhan yang diwujudkan dengan memasak ayam menjadi hidangan yang sangat lezat. Hanya makanan lezat yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ayam ingkung juga disimbolkan sebagai rasa syukur dan kebahagiaan, ekspresi dari anugerah kebajikan yang sudah diterima sehingga manusia dapat hidup dengan baik. Hal itu dicerminkan dengan rasa gurih, nikmat, hangat, dan legit yang terdapat pada ayam ingkung.
Perwujudan ingkung yang dibentuk meringkuk mengambarkan seseorang sedang bersujud maksud bersujud disitu adalah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, membersihkan diri dari segala dosa dengan cara memohon ampunan kepada Tuhan. Diaharapkan agar manusia tersebut berserah diri dan pasrah kepada Tuhan dan berdoa memohon petunjuknya. Tujuan dilakukannya hal tersebut tidak lain adalah untuk memperoleh ketentraman dalam hidupnya (Prabawa, 2012 dan Pasha, 2015).

REFERENSI 


Dewi, TK. (2011). Kearifan Lokal “Makanan Tradisional”: Rekonstruksi Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Masyarakat Pernaskahan Nusantara.
Pasha, MK. (2015). Tradisi Suran di Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Studi tentang Fungsi dan Makna). Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Prabawa, B., 2012. Nilai Filosofi Upacara Daur Hidup Mitini di Dusun Kedung 1, Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta: Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.





Rabu, 16 November 2016

Makna Dibalik Ikon Idul Fitri

                    Idul fitri merupakan perayaan tahunan yang dirayakan umat muslim setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Dalam perayaan Idul Fitri ada beberapa jenis hidangan khas yang pasti disajikan pada perayaan tersebut. 
Jika kita membicarakan mengenai Idul Fitri, jenis hidangan yang terlintas dipikiran kita?
Opor ayam?
Atau Ketupat?
Kedua jenis hidangan yang disebutkan tadi memang identik dengan perayaan Idul Fitri. Namun sepertinya Ketupat menjadi kudapan yang selalu ada dan menjadi icon tersendiri pada perayaan tersebut. Lalu sebenernya bagaimana awal mula ketupat ini bisa hadir dalam acara perayaan Idul Fitri?



             Ketupat merupakan kudapan yang terbuat dari beras. Ketupat dibuat dengan cara memasukan beras yang telah diberrsihkan dan dicuci ke dalam daun yang kelapa yang dianyam berbentuk persegi yang kemudian direbus beberapa jam hingga masak. Adanya ketupat sudah muncul sejak abad ke 15 yang dimana pada saat ini ketupat dijadikan sebagai simbol perayaan Hari Raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang ketika itu dipimpin oleh Raden Fatah. Masyarakat jawa menggunakan ketupat sebagai atribut untuk perayaan lebaran ketupat yang dilaksakan pada tanggal 8  syawal yang diiringi dengan puasa syawal selama seminggu. Jika dilihat berdasarkan arti katanya, ketupat diambil dari bahasa jawa yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan yang telah diperbuat. Sikap mengakui kesalahan ini dicerminkan dalam perayaan idul fitri yaitu saling maaf bermaafaan baik itu dengan keluarga, tetangga, atau dengan sanak saudara. Selain itu kupat juga diartikan dengan 4 tindakan prilaku atau laku papat yang terdiri dari lebaran, leburan, luberan, dan laburan yang artinya adalah sebagai berikut :
- Lebaran : lebaran dalam bahasa jawa artinya adalah selesai. Maksud selesai disini adalah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan lamanya. Oleh karena itu jika kita sudah menyelesaikan puasa selama sebulan penuh maka akan diadakan perayaan Lebaran.
- Leburan : lebur disini berarti bahwa kesalahan yang kita perbuat dianggap habis dan berharap dapat dimaafkan.
- Luberan : berasal dari kata luber yang berarti melimpah oleh karena itu kita yang memiliki rezeki berlebih diharapkan dapat menyisihkan sebagian rezeki kita untuk orang yang lebih membutuhkan.
- Laburan : berasal dari kata labur yang jika diartikan adalah kapur. Kapur sendiri biasa berwarna putih, yang menceriminkan hati kita yang bersih dan kembali fitri.


                    Bahan- bahan yang digunakan untuk membuat ketupat juga memiliki makna tersendiri. Daun kelapa atau yang sering disebut janur melambangkan identitas warga pesisir selain itu kata janur merupakan kependekan dari kata "jatining nur" yang artinya adalah hati nurani. Oleh karena itu nantinya beras yang dimasukan ke dalam janur tersebut digambarkan dengan nafsu nabawi yang artinya nafsu nabawi tersebut nantinya akan dibungkus dengan hati nurani.

Sedangkan janur atau daun kelapa yang digunakan untuk ketupat diambil dari kependekan kata “jatining nur” yang berarti hati nurani. Sehingga secara filosofis beras yang dimasukkan kedalam ketupat sebagai isiannya ini menggambarkan nafsu duniawi. Dengan begitu bentuk dan rupa ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani. Bentuk anyaman  ketupat yang komplek bersilangan satu dengan lainnya menyimbolkan bahwa manusia harus tetap menjaga tali silaturahmi antar sesama umat. Bentuk persegi pada ketupat pun memiliki makna tersendiri yaitu persegi tersebut menyimbolkan empat penjuru mata angin yang bilamana diartikan kemanapun manusia pergi tidak boleh melupakan arah yang arah tersebut diartikan sebagai arti arah kiblat.


             



Jumat, 28 Oktober 2016

Roti Buaya, Perlambang Kesetiaan Orang Betawi

          Jika kita berbicara mengenai makanan khas dari Indonesia tentunya tidak akan ada habisnya mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk cukup banyak yang terdiri dari berbagai suku di dalamnya. Berbagai suku tersebut tentunya memiliki makanan khas masing-masing. Salah satu makanan daerah yang kana  dibahas yaitu daerah Ibu Kota Indonesia terlebih dahulu yaitu Jakarta. Suku betawi merupakan suku asli yang mendiami wilayah Jakarta. Suku betawi memliki berbagia kudapan khas salah satunya yaitu Roti buaya.

Sepasang roti buaya untuk acara pernikahan.
    
          Jika biasanya roti hanya dianggap sebagai makanan kudapan sehari-hari saja, berbeda halnya dengan masyarakat Betawi. Masyarakat betawi menganggap bahwa roti buaya merupakan jenis kudapan yang termasuk kedalam makanan spiritual. Roti buaya sendiri memiliki sejarah dan filosofi tersendiri bagi warga betawi sehingga dianggap makanan yang sakral.

           Dalam sejarah kebudayaan Betawi, buaya merupkan salah satu hewan yang memiliki arti penting. Dahulu kala sepasang buaya putih dipercaya bermukim di kali yang dianggap keramat, seperti Kali Ancol, Kali Cideng, dan Kali Lebak Bulus sebagai penunggu. Orang Betawi sekali waktu  memberi sesajen yang biasanya terdiri dari nasi kuning, telor ayam mentah, lisong dan pisang raja. Bagi orang Betawi, sepasang buaya menyimbolkan kekuatan spiritual  yang melindungi kesetiaan dua pasangan. Menurut sejarahnya, simbol Buaya masuk dalam dunia mitos Betawi merupakan pengaruh kuat dari kebudayaan orang Dayak dan Melayu Kalimantan Barat yang hijrah ke Jakarta paling sedikit sejak abad 10 yang kemudian menjadi komponen utama yang menurunkan dan menciptakan komunitas baru yakni orang Betawi

Acara seserahan adat Betawi

               Roti buaya sangat erat kaitannya dengan adat pernikahan orang Betawi. Roti buaya merupakan salah satu seserahan yang harus dibawa oleh mempelai pria yang akan diberikan kepada mempelai wanita nantinya. Hingga saat ini belum ada yang bisa menjelaskan secara pasti kapan dimulainya tradisi seserahan roti buaya ini. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan segi etimologi, tradisi ini muncul jauh sebelum adanya masa kolonialisme. Roti buaya merupakan lambang semua cinta dan kesetian yang tiada henti dan abadi. Jika ditilik berdasarkan ensiklopedi kehewanan pun membenarkan bahwa buaya merupakan satu-satunya hewan di jagad perbinatangan yang paling setia karena seumur hidup ia habiskan waktu hanya pada satu pasangan. Sehingga tidak heran roti buaya ini digunakan pada seserahan acara pernikahan orang Betawi karena filosofinya tersebut. Yang dimaksud filosofi kesetian disini adalah nantinya calon pengantin laki-laki diharapkan siap mengoborbankan apapun untuk menjaga anak istirnya. Sebagai suami nantinya harus bertanggung jawab dalam melindungi, merawat, menjaga, seperti halnya apa yang dilakukan buaya melindungi telur dan anaknya. Setelah diterima oleh pihak pengantin perempuan, nantinya roti ini dibagikan kepada para tamu dan mitosnya jika tamu yang memakan roti buaya tersebut masih belum mempunyai pasangan maka nantinya mereka akan segera mempunyai pasangan juga.



REFERENSI :

Afrilia, D. 2015. Hukum Adat Betawi Menggunakan Roti Buaya Dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Hidayatullah. Jakarta
Rizal, J.J. 2004. Mitos dan Kearifan Lokal. Pendar Pena. Volume 2 No 5.
             






Rabu, 05 Oktober 2016

Antara Gudeg dan Kota Istimewa

Apa yang membuat orang ingin kembali lagi berkunjung ke kota Jogja?




Setiap orang yang pernah berkunjung ke kota Jogja pasti mempunyai alasan-alasan tersendiri mengapa mereka ingin kembali lagi berkunjung kesana. Beberapa alasannya diantaranya adalah banyaknya objek wisata di kota tersebut, suasana yang membuat pengunjung nyaman, bahkan kuliner yang beragam, dan lainnya. Membahas kuliner yang ada di Jogja tentu tidak akan ada ujungnya, mengingat banyak sekali berbagai jenis makanan yang tersedia. Kuliner yang ada di Jogja dikenal memiliki harga yang cukup murah mengingat kota ini juga mendapat julukan kota pelajar yang tidak jarang harga makanannya disesuaikan dengan kantong pelajar.

Gudeg khas Jogja

Dari berbagai jenis kuliner di Jogja, banyak diantara anda pasti setuju bahwa “Gudeg” menjadi salah satu ikon kuliner Jogja yang melegenda dari jaman dulu hingga sekarang. Hampir disetiap sudut kota Jogja pasti mudah sekali memenukan penjual makanan yang memiliki perpaduan rasa gurih dan sedikit manis ini. Hingga saat ini Gudeg sendiri telah dijajakan dari pedagang kaki lima, rumah makan, hingga di hotel bintang lima.

Lalu bagaimana sejarahnya hingga Gudeg bisa menjadi ikon kuliner kota Jogja?

Dikutip dari Serat Centhini, Gudeg petama kali dikenal pada tahun 1819, yaitu pada jaman mataram kuno. Pada saat ini komoditas utama yang menjadi primadona karena memiliki nilai jual tinggi   adalah jati. Saat itu banyak  pepohonan yang ditebang salah satunya nangka karena dinilai tidak memiliki nilai jual. Nangka tersebut dimanfaatkan utuk membuat makanan bagi para pekerja. Sebutan atau nama Gudeg sendiri tidak lain dikarenakanan dari cara pengolahan makanannya, yaitu diaduk yang dalam bahasa jawa berarti “diudeg. Diudeg sendiri berarti mengolahnya dengan cara diaduk berulang agar tidak gosong atau yang sering disebut angudeg-udeg.


Universitas Gadjah Mada tempo dulu


Adanya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang  juga memiliki andil besar dalam perkembangan Gudeg di kota Jogja. Universitas tersebut menjadi salah satu pusat untuk pendidikan pada saat itu. Banyak para mahaiswa, staff dan pegawai kampus tersebut yang menjadikan gudeg sebagai makanan sehari-hari. Banyak juga para mahasiswa rantau yang membawa gudeg tersebut sebagai oleh-oleh untuk dibawa ke kampung halaman mereka masing masing. Dan secara tidak langsung mempromosikan gudeg sebagai salah satu makanan khas yang menjadi ikon kuliner Jogja.

Berdasarkan jenisnya gudeg dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya :
Gudeg basah : memiliki kadar air yang tinggi dan disajkian dengan areh (santan) kental 
Gudeg kering : memiliki kadar air yang sedikit dan disajkian dengan areh (santan) encer

Gudeg Solo :  gudeg yang arehnya berwarna putih 

Gudeg Manggar :  gudeg berbahan baku putik bunga kelapa
Jadi, gudeg jenis manakah yang membuat anda tertarik untuk mencoba? 

Jika anda berkunjung lagi ke Kota Jogja, bisa mengunjungi sentra gudeg yang berlokasi di daerah Wijilan. Disana anda dapat menemukan berbagai macam jenis gudeg dari berbagai merk. Beberapa yang sudah terkenal antara lain adalah Gudeg Yu Jum dan Gudeg Bu Slamet yang keduanya pertama kali membuka lapak di Wijilan pada tahun 1946.

 Referensi 

Abadi dan Budhy. 2015. DAERAH ISTIMEWA GUDEG (Video Dokumenter Tentang Riwayat Gudeg Sebagai Ikon Kota Jogja). Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Gardjito, Murdijati dan Eva Linda Dewi P. Gudeg Yogyakarta. (2012). Yogyakarta: Pusat Kajian Makanan Masyarakat Yogyakarta.

Triwitono, P. 1993. Akibat Perebusan Proses Pengolahan Gudeg Kering dan Sifat-Sifat Serat Diet Nangka Muda. Program Studi Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Tekologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.





Selasa, 27 September 2016

" Merti Bakpia" Wujud Rasa Syukur Warga Pathuk

Setiap mendengar kata “Bakpia” apa yang terlintas dipikiran kebanyakan orang mengenai bakpia pastiad alah makanan tradisional khas dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak heran memang dikarenakan bapkia sendiri sudah menjadi ikon kebanggaan masyarakat Yogyakarta. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa bapkia sendiri awal mulanya tidak seutuhnya berasal dari Yogyakarta.

Gambar 1. Bakpia Jaman Dahulu


            Sebenarnya asal muasal bakpia merupakan makanan yang berasal dari Cina. Sebutan bakpia sendiri di negeri asalnya adalah Tou Luk Pia yang jika diartikan adalah kue yang berisi daging. Bapkia ini dibawa ke Indonesia oleh seorang warga ketrunan Tionghoa yang bernama Goei Gee Oe yang mencoba membuka industri bakpia dengan skala rumahan. Munculnya produksi bapkia di Yogyakarta berawal di daerah Pathuk sekitar tahun 1948. Walaupun dari Negara asalnya isian dari bakpia adalah daging, akan tetapi setelah masuk ke Yogyakarta terjadi perubahan kombinasi isian bakpia. Isian bakpia ini disesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia. Salah satu jenis isian rasa bakpia yang paling banyak dijumpai adalah rasa kacang hijau. Sering dengan berkembangnya zaman, hingga kini produsen bakpia terus meningkat dikarenakan terus bertambahnya konsumen bakpia. Dengan mengikuti arus globalisasi produk bakpia ini terus berkembang baik dari sisi rasa, isian, ataupun bentuknya.

Gambar 2. Bakpia Modern

Untuk terus melestarikan dan memperkenalkan bakpia sebagai ikon makanan khas dari Yogyakarta dilakukan suatu kegiatan yang diberi nama “ Merti Bakpia”. Acara tersebut pertama kali diselenggarakan pada bulan September 2012 yang pada awalnya acara tersebut bernama “Bapkia Day”. Dengan digelarnya acara merti bapkia ini juga terselip harapan lain yaitu sebagai ajang pemersatu dan untuk mempererat keberasamaan antara warga Yogyakarta dengan warga keturunan Tionghoa yang merupakan negara awal mula bakpia berasal.
            Acara merti bakpia ini seringkali juga disebut dengan acara gunungan bakpia. Disebut gunungan bakpia dikarenakan terdiri dari kumpulan bakpia yang berbentuk gunungan (seperti gunung) dan banyak masyarakat Yogya yang mengakini bahwa gunungan tersebut tersebut melindungi diri dari kemalangan dan roh jahat. Salah satu tujuan lain dari acar ini juga adalah sebagai rasa syukur para produsen bakpia atas limpahan rezeki yang mereka dapat.

Gambar 3. Arak-Arakan Gunungan Bakpia


Gunungan pada acara tersebut terdiri dari gunungan Jaler (laki-laki) dan gunungan wadon. Setelah diarak mengelilingi daerah Pathuk gunungan bakpia ini di panjkatkan doa terlebih dahulu menurut syariat Islam untuk  menandakan bahwa selamatan kerajaan (wilujengan nagari) oleh Sultan sangat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan kehidupan masyarakat sepanjang masa. Kemuadian bakpia diberikan secara simbolis kepada salah satu pengujung untuk selanjutnya dinikmati bersama oleh semua pengunjung yang datang. Pada cara ini banyak sekali yang berebut untuk mendapatkan bakpia karena warga mempercapai bahwa jika memakan bakpia dari gunungan tersebut akan mendapat keberuntungan.