Ayam Ingkung?
Mungkin saat pertama kali mendengar nama makanan tersebut ada beberapa diantara kalian yang belum pernah mendengar nama makanan tersebut atau hanya mendengar selintas saja.
Bagi masyarakat jawa khususnya Yogyakarta makanan ini pasti sudah tidak asing lagi bagi mereka. Ya memang makanan ini merupakan ciri khas makanan yang berasal dari kota yang terkenal akan gudeg dan bakpianya tersebut.
Lalu sebenerarnya, apakah yang dimaksud Ayam Ingkung?
Ayam ingkung
merupakan kuliner tradisional khas Jawa yang berbahan dasar ayam yang dimasak
secara utuh dengan bumbu-bumbu tertentu. Ayam ingkung umumnya hanya disajikan
pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti upacara keagamaan, peringatan hari
besar, wujud rasa syukur (selametan), dan upacara peringatan kematian.
Bahan-bahan dasar pembuatan ayam ingkung juga tidak luput dari filosofi dan
simbolisasi sehingga diperlukan kajian lebih mendalam untuk melestarikan
kuliner khas Jawa tersebut.
Bagaimana sejarah Ayam Ingkung hingga ada di Indonesia?
Sejarah ayam
ingkung tidak pernah diketahui awal mula ayam ingkung digunakan. Namun, jika dirunut
dari zaman dahulu, ayam merupakan binatang yang paling dekat untuk dipelihara
dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia. Masyarakat Jawa di pedesaan memiliki pranjen (kandang ayam) yang letaknya tidak terpisahkan dengan
pekarangan rumah. Ayam memiliki posisi penting dalam kegiatan ritual masyarakat
jawa.
Dalam salah satu kajian yang diterbitkan oleh jurnal Nutrition and Food Science
disebutkan bahwa ayam ingkung berasal dari kata “manengkung" yang berarti berdoa kepada Tuhan
dengan kesungguhan hati. Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa ayam
ingkung merupakan salah satu komponen pokok dalam tumpeng sehingga sejarahnya
pun memang tidak terlepas dari sejerah perkembangan tumpeng. Diyakini bahwa
awal adanya tradisi tumpeng (termasuk ayam ingkung) adalah antara 5-15 abad
yang lalu karena fakta bahwa, selama waktu itu, kerajaan Jawa dipengaruhi oleh
agama Hindu (Taylor, 2003 dalam Jati, 2014). Sementara itu, simbol-simbol di
Tumpeng seperti beras gunung berbentuk, warna dan bahan-bahan yang dikenal
sebagai refleksi dari agama Hindu (Pasha, 2015).
Menurut Dewi
(2011) istilah ayam ingkung disebutkan pada Serat Centhini II dalam pembahasan
mengenai iwak pitik (daging ayam). Iwak pitik dalam masakan Jawa umumnya diolah
menjadi ingkung, opor, digoreng, betutu, tim dan sebagainya. Iwak pitik juga
dijadikan sebagai sesaji (uba rampe) selain dimasak untuk keperluan sehari-hari.
Filosofi apa yang terkandung dalam Ayam Ingkung?
Ayam ingkung
juga merupakan simbol dari kenikmatan yakni berupa kenikmatan dapat hidup
didunia sehingga sudah sewajarnya manusia harus bersyukur kepada Tuhan yang
diwujudkan dengan memasak ayam menjadi hidangan yang sangat lezat. Hanya
makanan lezat yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ayam ingkung juga disimbolkan
sebagai rasa syukur dan kebahagiaan, ekspresi dari anugerah kebajikan yang
sudah diterima sehingga manusia dapat hidup dengan baik. Hal itu dicerminkan
dengan rasa gurih, nikmat, hangat, dan legit yang terdapat pada ayam ingkung.
Perwujudan
ingkung yang dibentuk meringkuk mengambarkan seseorang sedang bersujud maksud
bersujud disitu adalah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, membersihkan
diri dari segala dosa dengan cara memohon ampunan kepada Tuhan. Diaharapkan
agar manusia tersebut berserah diri dan pasrah kepada Tuhan dan berdoa memohon
petunjuknya. Tujuan dilakukannya hal tersebut tidak lain adalah untuk
memperoleh ketentraman dalam hidupnya (Prabawa, 2012 dan Pasha, 2015).
REFERENSI
Dewi, TK. (2011). Kearifan Lokal “Makanan Tradisional”: Rekonstruksi
Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Masyarakat Pernaskahan
Nusantara.
Pasha, MK. (2015). Tradisi Suran di Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer
Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Studi tentang Fungsi dan Makna). Jurusan
Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam
negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Prabawa, B., 2012. Nilai
Filosofi Upacara Daur Hidup Mitini di Dusun Kedung 1, Desa Karang Tengah,
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta: Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar