Senin, 02 Mei 2016

Roti Bebas Gluten (Gluten-Free) Untuk Penderita Penyakit Celiac Serta Dampak Ekonomisnya

Roti Bebas Gluten (Gluten-Free) Untuk Penderita Penyakit Celiac Serta Dampak Ekonomisnya
Rifa Fauziyyah A.

 Kelas NFT-A
Program Studi Teknologi Pangan
Fakultas Ilmu Hayati, Universitas Surya
2014



Abstrak
Berkembangnya produk pangan seperti roti memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri bagi para konsumen dan produsen. Jika produsen mendapat keuntungan dari banyaknya tingkat konsumsi roti di Indonesia akan tetapi terdapat dampak negatif bagi persediaan tepung terigu di Indonesia karena dapat meningkatkan impor gandum sebagai bahan pokok pembuatan terigu dikarenakan banyaknya penggunaan terigu. Dengan adanya peningkatan impor gandum di Indonesia maka harus dibuat solusi guna menurunkan tingkat impor gandum tersebut. Penambahan bahan lain berupa tepung beras, jagung, dan singkong pada pembuatan Roti bebas gluten merupakan solusi yang dapat dipraktikan. Melimpahnya komoditas beras, jagung, dan singkong di Indoensia dapat dimanfaatkan sebagai bahan pendamping atau tambahan dalam pembuatan terigu. Tidak hanya menguntungkan dari sisi ekonomis, Roti bebas gluten ini dapat bermanfaat bagi penderita Celiac. Penyakit Celiac dapat diakibatkan oleh kosumsi makanan yang mengandung gandum berlebih oleh penderitanya. Penyakit ini dapat diobati dengan mengkonsumsi yang tidak mengandung gluten seperti gandum, barley, rye oat dan lainnya.
Kata Kunci : Roti bebas Gluten, Penyakit Celiac, Tepung Beras, Tepung jagung, Tepung singkong
Pendahuluan


Produk pangan merupakan  jenis produk yang mengalami tingkat perkembangan signifikan dari tahun ke tahunnya. Perkembangan ini dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya inovasi produk, tingkat distribusi, peningkatan kualitas, tingkat kebutuhan produk pangan dan lainnya. Munculnya inovasi produk pangan terbaru membuat konsumen lebih mudah untuk memilih produk yang mereka butuhkan dengan cepat. Roti merupakan jenis panganan yang banyak dikonsumsi. Roti terdiri dari bahan utama berupa tepung terigu yang dicampurkan dengan air dan berbagai bahan pelengkap seperti mentega, telur, ragi, dan bahan lainnya.Seiring dengan berkembangnya zaman, roti sudah mengalami perkembangan baik dari sisi banyaknya konsumen ataupun keanekaragaman jenis produknya. Jika dahulu hanya kalangan tertentu saja yang rutin mengkonsumsi roti akan tetapi sekarang roti sudah banyak digemari oleh berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan berbagai hal seperti pendistribusian penjualan roti yang sudah merata bahkan sampai masuk ke pelosok desa-desa terpencil. Selain itu roti dianggap sebagai makanan yang praktis untuk sarapan pengganti nasi. Bagi kalangan tertentu seperti pegawai yang memerlukan waktu singkat untuk sarapan roti dipilih karena merupakan panganan yang praktis dan dianggap cukup mengenyangkan. Tingginya permintaan roti tidak dibarengi dengan ketersediaan bahan baku utama roti yaitu tepung terigu yang dibuat dengan gandum yang masih diimpor dikarenakan sulitnya gandum untuk tumbuh di Indonesia dikarenakan kondisi iklim yang tidak seseuai.
Pada tahun 2011 impor gandum diperkirakan sudah mencapai 4.8 juta ton dan terigu 0,9 – 1 juta ton (Sinar Tani, 2011 edisi 3426). Untuk meminimalisir banyaknya impor gandum yang dilakukan oleh para pengusaha roti maka harus dibuat solusi guna mengatasi masalah tersebut. Roti bebas gluten (Gluten-Free) merupakan jenis roti yang memnfaatkan berbagai campuran bahan pangan lain seperti Tepung beras, Tepung Jagung, Tepung singkong untuk ditambhakan pada pembuatan terigu sehingga dapat mengurangi pemakian gandum. Roti bebas gluten juga dimanfaatkan bagi penderita penyakit Celiac guna menghindari makanan yang mengandung gluten. Penyakit celiac adalah suatu kondisi dimana terjadi reaksi yang kronis pada rantai protein tertentu, umumnya disebabkan oleh gluten yang ditemukan pada butir gandum. Reaksi ini menimbulkan kerusakan pada vilivili usus halus sehingga terjadi malabsorpsi dari nutrisi (Helmi, Lutfi, 2008). Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memaparkan keuntungan yang didapat dari penambahan beberapa bahan pada pembuatan tepung terigu seperti tepung beras, jagung, dan singkong (pati) yang dilihat dari sisi ekonomis serta kesahatannya.
Bahan dan Metode
Metode yang dilakukan penulis adalah dengan cara membandingan dua paper yang memiliki topik yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Dari kedua paper dapat dibandingkan perbedaan yang menjadi ciri khas dari isi paper tersebut yaitu dilihat dari bahan dan prosedur kerja untuk membuat Roti bebas gluten (Gluten-Free) tersebut. Prosedur yang dilakunan sama yaitu pencampuran bahan, pembuatan adonan, pembentukan roti, fermentasi, pembakaran, dan pengemasan.


Paper A
Paper B
Bahan
Tepung beras, tepung jagung, tepung singkong (pati), susu bubuk, gula, garam, margarin, telur, baking powder, ragi, air
Beras long grain, Pati jagung, Susu bubuk, Natrium caseinate, Minyak bunga matahari, Garam, Ragi (Saccharomyces cerevisiae), Air













Hasil

Jenis Tepung
Hasil
Tepung Beras
Roti dengan tepung beras mengasilkan warna coklat gold , struktur dan volume roti yang baik, meskipun roti menghasilkan sedikit kerak dan teksturnya lebih kasar dibanding roti gandum.
Tepung Jagung
Volume roti mengembang dengan baik, warna keputihan yang tidak teratur, lubang pori-pori roti yang sedikit besar.
Tepung Singkong
Roti agak kenyal seperti karet, teksturnya kasar,
mengerut, dan banyak kerak, dengan sedikit volume roti yang mengembang dan warna tidak seragam.

Tepung beras mendominasi dalam pembuatan roti ini dikarenakan menghasilkan tekstur yang empuk, lembut dan warna yang menarik pada roti. Lamanya waktu pengadukan adonan dapat mengakibatkan hilangnya struktur akhir dari produk roti tersebut seperti tekstur yang terlalu lembek. Menurut analisa yang telah dilakukan waktu optimum yang baik untuk mengaduk adonan adalah 5 menit dengan kecepatan tinggi sampai adonan tercampur merata. Teknik menguleni adonan yang baik, benar dan waktu yang tepat akan menghasilkan tekstur yang empuk dan ketebalan roti yang baik. Pemilihan waktu yang ideal untuk fermentasi dapat meningkatkanvolume atau ketebalan roti secara maksimal. Menurut Kim dan Ruiter (1968) meningkatkan waktu fermentasi roti bebas gluten dengan waktu 48-68 menit, tidak menimbulkan efek yang signifikan, tekstur menjadi lebih tebal. Standar suhu yang baik digunakan untuk proses fermentasi adalah 40oC dengan waktu 50 menit.

Pembahasan
Gluten merupakan protein yang biasanya terdapat di dalam tepung terigu. Orang yang terkena Celiac harus menghindari semua jenis makanan yang mengandung gluten yang berasal dari sereal, gandum, oat, dan lainnya. Pada dasarnya bahan makanan yang mengandung gluten tidak berbahaya untuk tubuh akan tetapi jika dikonsumsi oleh penderita Celiac akan menimbulkan bahaya. Untuk menghindari atau mengurangi konsumsi yang berlebihan terhadap makanan yang mengandung banyak gluten maka para penderita penyakit Celiac dapat disarankan untuk mengkonsumi roti dengan campuran tepung beras, tepung jagung, dan tepung singkong ini karena produk ini di klaim bebas mengandung gluten (Gluten-free). Selain bermanfaat bagi penderita Celiac, pembuatan roti beas gluten ini memiliki manfaat juga jika dilihat dari segi ekonomis. Penambahan campuran tepung beras, jagung, singkong (pati) secara tidak langsung dapat mengurangi beban impor gandum Indonesia. Jika menggunakan tepung terigu saja sebagai bahan utama pembuatan roti kita harus mengimpor terlebih dahulu gandum sebagai bahan utama tepung terigu akan tetapi jika kita mencampurnya dengan bahan lain seperti tepung jagung, beras, ataupun singkong bahan bahan ini telah tersedia karena merupakan beberapa komoditi utama yang dihasilkan di Indonesia.

Kesimpulan
Pembuatan roti bebas gluten merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menurunkan impor gandum Indonesia serta sebagai solusi makanan yang dapat dikonsumsi oleh penderita penyakit Celiac. Dalam pembuatan roti bebas gluten ini tepung beras, tepung jagung, dan tepung singkong (pati) dapat digunakan sebagai bahan penambah atau mensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan roti.

Referensi :

Anonim. ( Tanpa Tahun ). Kebijakan Dan Rekomendasi Pengembangan Diversifikasi
Pangan (Suatu Program Aksi). [Online]. Diakses dari http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/berita/KEBIJAKAN_DAN_REKOMENDASI_PENGEMBANGAN_DIVERSIFIKASI_PANGAN.pdf pada tanggal 28 November 2014

Helmi, Lutfhi. (2008). Sarkoidosis Paru . Majalah Kedokteran Nusantara. Volume 41 No. 1

López,Anna C.B et al.2004. Flour Mixture Of Rice Flour, Corn And Cassava Starch InThe Production Of Gluten-Free White Bread. Brazilian Archives Of Biology And Technology An Internasional Journal. Vol 47 Hlm 63-70

Novotini, Dubraka et al. 2007. Gluten-Free Bread Production by the Corn Meal and Soybean Flour Extruded Blend Usage. Original Scientific Paper. Vol 72 No.23






Regulasi Etil Asetat di Indonesia dan Beberapa Negara Lain

                  

Menurut SNI 01-7152-2006 tentang persyaratan perisa dan penggunaan dalam produk pangan, etil asetat termasuk dalam senyawa perisa yang diizinkan untuk digunakan. Senyawa tersebut diizinkan berdasarkan kajian Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). Batasan penggunaannya juga mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oeh JECFA. Menurut JECFA, ethyl acetate  memiliki ADI (Acceptable Daily Intake) sebesar 0-25 mg/kg berat badan. Dalam jumlah tersebut, senyawa ini tidak akan berdampak pada kesehatan (JECFA, 2002)
Di USA, menurut FEMA (Flavoring Extract Manufacturers’ Association), ethyl acetate termasuk senyawa yang dinyatakan sebagai GRAS (Generally Recocnized As Safe). Batas penggunaan dari ethyl acetate tersebut berbeda-beda tergantung dengan jenis bahan pangan.  Untuk produk-produk minuman, ethyl acetate dapat ditambahkan dengan jumlah maskimum sebesar 67 ppm, untuk es krim sebanyak 99 ppm, untuk permen dan produk bakery sebanyak 170 ppm, pudding sebanyak 200 ppm, permen karet sebanyak 1400 ppm dan untuk minuman beralkohol sebanyak 65 ppm (Flavoring Extract Manufacturers Association, 1965)
            Di European Union (EU), menurut EFFA (European Flavor Association), ethyl acetate merupakan senyawa flavor yang aman digunakan. Penggunaannya tidak diatur secara pasti dalam aturan tersebut, namun dari aturan yang ada dapat diketahui bahwa ethyl acetate bukan merupakan senyawa yang berbahaya dan penggunaannya diperbolehkan dalam jumlah yang wajar (European Flavor Association, 2009)
            Di Australia dan New Zealand, menurut Austalia New Zealand Food Standards Code dalam Standard 1.3.1 tentang Food Additives, ethyl acetate termasuk dalam senyawa perisa yang aman untuk digunakan dalam makanan. Penggunaannya tidak diatur secara spesifik, namun penggunaannya tidak boleh lebih dari tingkat maksimum yang diperlukan untuk mencapai satu atau lebih fungsi teknologi di bawah kondisi Good Manufacturing Practice (GMP) (Australian Governtment, 2014).
Di Jepang, menurut Ministry of Health, Labour and Welfare (MHLW) dalam Food Sanitation Act (FSA), ethyl acetate termasuk senyawa flavor yang aman digunakan. Penggunaannya hanya ditujukan sebagai perisa, kecuali digunakan untuk denaturasi alcohol untuk menghilangkan astringency, mengakselerasi autilysis di yeast extract, pelarut untuk vinyl acetate resin. Selain itu di Korea, menurut KFDA (Korea Food & Drugs Administration), ethyl acetate hanya boleh digunakan untuk tujuan sebagai perisa, pelarut vinyl acetate resin, dan bahan mentah fungsional untuk pangan fungsional. Pengguanan ethyl acetate tidak boleh melebihi 0,05 gram/kg bahan.

Perkembangan Obesitas dan Cara Untuk Menghindarinya

Seiring dengan perkembangan jaman, dengan meningkatnya arus globalisasi secara tidak langsung berdampak pada pola hidup manusia seperti pada pola makan manusia. Kini, manusia cenderung banyak memilih makanan siap saji (fast food) dibandingkan dengan yang diolah sendiri. Ketidakseimbangan komposisi kandungan gizi pada fast food cenderung membuat jalannya metaboliseme dalam tubuh kurang maksimal dan menimbulkan berbagai penyakit seperti Obesitas.
Obesitas merupakan penyakit yang diakibatkan karena adanya penumpukan lemak yang berlebihan secara menyeluruh dibawah kulit dan jaringan lainnya di dalam tubuh. Penyakit ini dapat timbul kapan saja dan sering terjadi pada saat usia remaja. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak (Ganong, 2003).
 Menurut data World Health Organization (WHO) prevalensi obesitas di negara maju dan berkembang telah meningkat tiga kali lipat. Obesitas dinyatakan sebagai salah satu dari sepuluh masalah kesehatan utama didunia dan kelima teratas di negara berkembang. Prevalensi obesitas populasi dewasa di seluruh dunia pada tahun 2005 mencapai 400 juta jiwa dan pada tahun 2015, jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 700 juta jiwa (WHO, 2005).
Menurut (Purwati, 2007), berdasarkan kondisi selnya, obesitas digolongkan dalam beberapa tipe yaitu:
a. Tipe Hiperplastik, obesitas yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak.
 b. Tipe Hipertropik, obesitas yang terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan ukuran sel normal. Obesitas tipe ini banyak menjangkit orang dewasa.
c. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak - anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa.
Selain itu jenis obesitas juga dapat digolongkan berdasarkan penyebaran lemak didalam tubuh, yaitu:
a. Tipe Adroid, ditandai dengan pertumbuhanlemak berlebih dibagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak, leher, dan muka. Umumnya dialami pria dan wanita yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk merupakan lemak jenuh.
b. Tipe Genoid, ditandai dengan penimbunan lemak pada bagian bawah, yaitu sekitar perut, pinggul, paha, dan pantat. Umumnya banyak diderita oleh perempuan. Jenis timbunan lemaknya adalah lemak tidak jenuh.
Dengan meningkatnya angka obesitas dari tahun ke tahun maka karya tulis ini dibuat untuk megnalisis peran metabolisme serat di dalam tubuh sebagai upaya preventif & representatif Obesitas.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan guna menghindari atau menyembuhkan penyakit obesitas :
1) Diet.
Diet menjadi salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan penyakit obesitas. Diet yang dilakukan dengan mengkonsumsi makanan rendah kalori tetapi cukup gizi, yaitu sekitar 15 – 20 kalori/kg.bb.,dengan komposisi 20% protein, 65% karbohidrat dan 15% lemak(Sutedjo, 1985).

2) Olah Raga.
Dengan melakukan olahraga secara rutin, secara tidak langsung dapat mempercepat metabolisme tubuh, juga dapat membuat kondisi tubuh lebih segar dan dapat menambah estetika. Dengan melakukan olahraga jumlah kalori yang dikeluarkan tubuh lebih banyak daripada jumlah kalori yang masuk sehingga kalori dalam tubuh akan berkurang dan menghindari terjadinya penumpukan lemak dalam tubuh (Danfort, 1985).
3) Obat-obatan.
Obat-obatan yang banyak digunakan untuk obesitas terdiri dari obat penahan nafsu makan di antaranya alah golongan amfetamin, obat yang meningkatkan/mempercepat metabolisme tubuh misalnya preparat tiroid, obat pemacu keluarnya cairan tubuh misalnya diuretika; pencahar. Namun obat-obat tersebut bila digunakan dalam jangka panjang akan menyebabkan efek samping sangat merugikan tubuh. Oleh karena itu penggunaannya sebaiknya disertai kontrol ketat dan sesuai dengan resep dokter (Hedi, 1986).
4) Mengkonsumsi makan berserat
Mengkonsumsi serat larut air (soluble fiber) seperti pektin serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Makanan yang mengandung bayak serat waktu cernanya lebih lama dalam lambung, sehingga dapat memberikan efek rasa kenyang lebih lama sehingga mencegah untuk mengkonsumsi makanan lebih banyak.Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori rendah, kadar gula dan lemak rendah yang dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas(Anik, 2010).









Daftar Pustaka

Anik, H. (2010). Manfaat Serat Pangan dalam Menu Makan. Jakarta: Universitas Mercu Buana.
Danfort, E. (1985). Diet and Obesity. AmJ Clin Nutrition.
Ganong, F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hedi, R. (1986). enanggulangan Kegemukan dengan Obat-Obatan. Jakarta: FKUI.
Purwati. (2007). Perencanaan Menu Untuk Penderita Kegemukan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sutedjo. (1985). Obesitas, Hubungannya dengan Kesehatan Jantung. Simposium Sehari Pengaruh Kegemukan pada Estestika Tubuh, 103.
W.F, G. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
WHO. (2005). Obesity and Overweight. www.who.int.





Minggu, 01 Mei 2016

Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA)

 Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA)

A. Pengertian Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan suatu pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara yang dibentuk untuk meningkatkan investasi asing di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang akan membuka arus perdagangan barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara di Asia Tenggara. Pasar tunggal sendiri merupakan sebuah kawasan yang secara keseluruhan dilihat oleh negara-negara anggota ASEAN, bukannya sekedar pasar dan sumber daya yang berada dalam batas-batas nasional dan hanya melibatkan para pelaku ekonomi di tingkat nasional. Pembentukan MEA ini sendiri diawali pada tahun 2003 ketika para pemimpin ASEAN sepakat bahwa Masyarakat ASEAN harus terbentuk pada tahun 2020. Pada tahun 2007, para pemimpin menegaskan komitmen kuat mereka untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN dan mempercepat target waktunya menjadi tahun 2015 (Kementrian Perdagangan,2011).

B. Isi dari Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Berdasarkan sumber yang dikutip dari asianfarmers.org (2008) sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu :
(1)   Pergerakan Bebas Barang
Penghapusan Tarif
- Sebelum tahun 2010 untuk ASEAN- 6 dan sebelum tahun 2015 untuk CLMV (dengan kelonggaran bagi produk-produk sensitif sebelum tahun 2018) .
- Sektor-sektor Integrasi Prioritas: sebelum 2007 untuk ASEAN-6 dan tahun 2012 untuk CLMV .
- Tarif Daftar Sensitif (SL) sebesar 0- 5% sebelum 1 Januari 2010 untuk ASEAN-6, 1 Januari 2013 untuk Viet Nam, 1 Januari 2015 untuk Republik Demokratik Rakyat Laos dan Myanmar, serta sebelum 1 Januari 2017 untuk Kamboja.
 - Fase produk-produk dalam Daftar Pengecualian Umum (General Exceptions List) Penghapusan Hambatan-hambatan Non Tarif .
- Sebelum tahun 2010 untuk ASEAN-5 (ASEAN-6 minus Filipina), tahun 2012 untuk Filipina, dan tahun 2015 dengan kelonggaran sampai tahun 2018 untuk CLMV
- Menghapus transaksi-transaksi perdagangan melalui: Fasilitasi perdagangan, integrasi bea cukai, Jendela Tunggal ASEAN.

(2) Pergerakan Bebas Jasa
- Menyingkirkan semua hambatan perdagangan dalam jasa sebelum tahun 2015.
- Meliberalisasi jasa keuangan secara progresif sebelum tahun 2020 .
- Liberalisasi melalui rumusan/formula ASEAN Minus X.
-Pengaturan-pengaturan Pengakuan yang Setara (Mutual recognition arrangements/MRAs)

(3) Pergerakan Bebas Investasi
- Kawasan Investasi ASEAN (ASEAN Investment Area/AIA) diwujudkan sebelum tahun 2015 (membuka semua industri dan perlakuan nasional yang diberikan kepada semua investor, dengan beberapa pengecualian) .
- Pembentukan Kesepakatan Investasi Komprehensif ASEAN (ASEAN Comprehensive Investment Agreement/ACIA) .
(4) Pergerakan Bebas Modal
- Memperkuat Pembangunan dan Integrasi Pasar Modal ASEAN, dan mempromosikan pergerakan modal yang lebih besar.
(5) Pergerakan Bebas Pekerja Terampil
Fasilitasi pergerakan dan pengkaryaan terampil buruh profesional dan terampil dalam perdagangan lintas batas dan kegiatankegiatan yang berhubungan dengan investasi.
Keterangan :
ASEAN-6 terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
CLMV meliputi Kamboja, RDR Laos, Myanmar, dan Viet Nam.
           
         C. Profesi yang dibuka di MEA

Saat MEA berlaku, di bidang ketenagakerjaan ada 8 (delapan) profesi yang telah disepakati untuk dibuka, yaitu :
a.       Insinyur
b.      Arsitek
c.       Perawat
d.      Tenaga survei
e.       Tenaga pariwisata
f.       Praktisi medis
g.      Dokter gigi
h.       Akuntan ( Prasetyo,2013)

D.      Dampak Adanya MEA Bagi Indonesia

            Dengan keikutsertaan Indonesia di MEA tentunya dapat menimbulkan dampak yang postif dan negatif  bagi Indonesia, diantaranya :
A.    Dampak Positif
-          Pilihan barang dan jasa yang lebih variatif bagi konsumen melalui peningkatan perdagangan intra-regional.
-          Skala ekonomi yang lebih besar bagi dunia usaha dan industri yang dapat mendorong peningkatan produktivitas dan pengurangan biaya produksi, sehingga menghasilkan harga barang yang lebih kompetitif.
-          Permintaan yang lebih besar untuk barang dan jasa akan menciptakan lapangan kerja di berbagai industri seperti manufaktur, transportasi, logistik dan komunikasi.
Peningkatan integrasi ekonomi akan memperkuat jaringan bisnis di ASEAN, membangun pertumbuhan dan kemakmuran
-          Tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi di ASEAN akan memberikan kontribusi dalam membangun kelas menengah yang lebih besar di kawasan, sehingga mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. Hal ini akan menghasilkan stabilitas sosial melalui penguatan pasar dan daya beli barang dan jasa konsumen (Kementrian Perdagangan,2011).
B.     Dampak Negatif
-          Tenaga kerja asing mudah masuk dan bekerja di Indonesia sehingga mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang semakin ketat di bidang ketenagakerjaan.
-           Banyak produk-produk asing membanjiri pasar dalam negeri sehingga persaingan semakin ketat.
-          Menurunnya performa ekonomi dalam negeri karena serbuan produk-produk dari negara lain yang berdaya saing lebih tinggi jika belum ada kesiapan yang serius terhadap adanya MEA.

Bagus Prasetyo. 2013. Menilik Kesiapan Dunia Ketenagakerjaan Menghadapi MEA.Jurnal Online Rechtsvinding ISBN 20899009.
Kementrian Perdangan. 2011. Perkembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional.
Asian Farmers. 2008. Memahami Piagam ASEAN dan Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN. Diakses dari http://asianfarmers.org/wp-content/uploads/2008/07/indonesia-bahasa.pdf pada 27 April 2016