Senin, 12 Desember 2016

Kue Apem, Cemilan Syarat Makna dari Tanah Jawa

                   Berbicara mengenai makanan khas Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari jenis makanan yang satu ini. Ya, jajan pasar atau yang terkadang disebut kue basah. Meskipun kebanyakan porsinya memiliki ukuran kecil namun tidak ada salahnya kita mengenal dan mencoba apa saja jajan pasar yang ada di Indonesia. Seperti namanya, jajanan pasar ini biasa diperjual belikan kebanyakan di pasar tradisional atau tidak jarang ada yang membuatnya sendiri di rumah. Kebanyakan jajanan pasar yang disajikan rasanya manis, akan tetapi banyak juga jajanan pasar yang rasnaya asin dan gurih.
                      Kali ini, jenis jajanan pasar yang akan kita ulik adalah mengenai kue Apem. Nama kue ini mungkin sudah terdengar tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia, khususunya masyarakat jawa. Kue apem merupakan kue yang terbuat dari tepung beras, gula, dan santan yang difermentasi dengan ragi atau tape untuk selanjutnya dipanggang dengan menggunakna wajan kecil atau cetakan apem. 


Lalu bagaimana asal mula kue apem ada di Indoensia? 

              Berdasarkan beberapa sumber, kue apem ini muncul berawal dari seorang ulama bernama Kyai Ageng Gribig. Beliau merupakan ulama yang berasal dari Jatinom, Klaten. Kua apem ini muncul ketika Kiyai Ageng Gribing yang baru menyelesaikan ibadah hajinya tepatnya pada 15 safar 1511 H. Sesaat pulang dari tanah suci beliau membawa beberapa buah tangan diantaranya air zamzam, tanah dari padang arafah, dan kue sejenis roti. Para jamaah beliau saat pengajian memimta oleh-oleh dari tanah suci, dikarenakan hanya membawa sedikit oleh-oleh yang berupa makanan yaitu kue sejenis roti tersebut dan dicampur dengan apem maka beliau menyuruh istrinya yang bernama Nyai Ageng untuk memperbanyak kue yang terbuat dari tepung beras tersebut dikarenakan jamaah yang begitu banyak. Kue apem berasal dari kata "apem" yang dalam bahasa arab berarti "affun" atau dalam bahasa Indoensia artinya adalah ampunan. Sehingga diharapkan saat pengajian tersebut jamaah dapat memaknai bahwa kue apem dapat menjadi perantara untuk saling memaafkan dan meminta ampunan dosa dari Allah. 
                     

                     Kue apem ini kemudian digunakan pada upacara Yaa Qowiyyu. Dalam perayaan tersebut apem merupakan salah satu yang menjadi ciri khas pada saat acara tersebut berlangsung. Upacara tersebut dinamanan Yaa Qowiyyu dikarenakan diambil dari doa Kyai Ageng Gribig saat menutup pengajian yaitu yang berbunyi : Ya Qowiyu Yaa Aziz Qowina wal Muslimin yang jika diartikan dalam bahasa indoensia adalah Ya Tuhan, dzat yang maha kuat, Ya Allah dzat yang maha menang, mudah-mudahan meberikan kekuatan kepada kami dan kaum muslimin. Hingga saat ini upacara tersebut menjadi kegiatan turun temurun yang masih dilaksanakan setahun sekali pada hari jumat pertengahan bulan syafar. Adapun manfaat dari diadakannya upacara Yaa Qowiyyu ini adalah agar manusia sebagai mahluk Allah senantiasa selalu memberikan ampunan dan selalu bisa memberikan maaf antara umat mnausia. Makna simbol apem dari upacara ini adalah antar sesama manusia selalu bisa saling bermaafan dan selalu bisa menerapkan berprilaku hidup rukun antar sesama umat. 


Upacara Yaa Qowiyyu ini dimulai dengan pengajian yang dilaksakan di mesjid Gedhe sebelum hari jumat yaitu malam jumat. Selanjutnya esok harinya dilakukan upacara mendoakan kue apem yang sudah berbentuk gunungan pada saat setelah shalat jumat. Kemudian gunungan apem tersebut diarak untuk dilakukan proses pelemparan apem di sekitar kawasan makam Kyai Ageng Gribing. Penyebaran apem yang pertama dilakukan oleh Bupati Klaten yang kemudian dilanjutkan oleh tim penyebar kue apem. Warga sekitar percaya, barang siapa yang mendapatkan apem tersebut dapat membawa kesejahteraan bagi yang mendapatkannya. Konon kue apem ini dapat dijadikan sebagai tolak bala atau syarat berbagai tujuan tertentu. Bahkan ada yang percaya bahwa barang siapa yang mendapatkan banyak apem akan mendapatkan rezeki yang melimpah. 

Referensi :
Handayani, N.M. 2015. Sebar Apem "Yaa Qowiyyu". Fakultas Seni dan Desain. ISI. Surakarta
Islami, M.E. 2014. Simbol dan Makna Ritual Yaqowiyu di Jatinom Klaten. Jurnal Media Wisata. Vol 12 No 3. 
Sumaiyah, L. 2014. Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Adat Yaqowiyu serta Pengembangan Produk Apem sebagai Salah Satu Alternatif Kuliner daerah Klaten. Fakultas Teknik. UNY. Yogyakarta



Minggu, 11 Desember 2016

Kue Keranjang, Si Legit dari Tionghoa

           Setiap adanya suatu perayaan tertentu pasti tidak lepas dari makanan khas yang disajikan dalam perayaan tersebut. Imlek merupakan perayaan tahun baru Cina. Pada perayaan imlek ini disajikan beragam kudapan salah satunya yaitu kue keranjang. Kue kerangjang ini merupakan kudapan khas taun baru imlek yang cukup familiar bahkan terkenal juga di kalangan warga yang bukan Tionghoa. Hal tersebut dikarenakan memang selain kue keranjang merupakan ciri khas kudapan dari perayaan imlek selain itu banyak yang menjajakan kue tersebut bahkan hingga ada yang berjualan keliling. 


           Dalam budaya Tionghoa kue keranjang tersebut disebut juga Nian Gao (年糕) atau dalam dialek Hokkian Ti Kwe (甜棵)Kue keranjang sendiri merupakan kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula. Tekstur dari kue ini kenyal dan lengket hampir menyerupai dodol. Kue ini dinamakan kue keranjang karena wadah cetaknya berbentuk keranjang. Kue keranjang ini mulai dipergunakan sebagai sesaji pada upacara sembahyang leluhur, tujuh hari menjelang tahun baru Imlek (廿四送尫 Ji Si Sang Ang), dan puncaknya pada malam menjelang tahun baru Imlek. Sebagai sesaji, kue ini biasanya tidak dimakan sampai Cap Go Meh (malam ke-15 setelah tahun baru Imlek).

           Tradisi adanya kue keranjang pada perayaan Imlek berawal dari kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa setiap dapur dijaga oleh dewa tungku yang mengawasi kegiatan masak memasak di suatu rumah yang nantinya akan dilaporkan pada Raja di surga yaitu Yi Huan Shang. Pada akhir tahun tepatnya tanggal 24 bulan 12 Imlek dewa tungku akan pergi ke surga dan melaporkan apa yang terjadi di masing-masing dapur warganya. Agar dewa tungku hanya melaporkan hal-hal yang baik saja kepada Raja di surga maka warga berinisiatif untuk membuat kudapan untuk dewa tersebut. Akhirnya warga berinisiatif untuk membuat kue berasa manis yang dibuat di kernjang yang kini sering disebut kue keranjang. 






         Bentuk kue keranjang yang bulat memiliki filosofi atau makna tersendiri, yaitu keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat berkumpul (minimal) satu tahun sekali setiap perayaan Imlek serta tetap menjadi keluarga yang bersatu, rukun, bulat tekad dalam menghadapi tahun baru yang akan datang. Cara menyusun kue keranjang yang semakin meningkat juga memiliki makna tersendiri. Apabila tingkatan tersebut makin ke atas maka kue yang disusun semakin kecil juga ukurannya, hal tersebut memberikan makna adanya peningkatan dalam hal rezeki dan kemakmuran. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kue keranjang yang disusun hal tersebut menunjukan bahwa orang yang membuat kue tersebut semakin makmur. Pada zaman dahulu tingginya kue keranjang menggambarkan kemakmuran suatu keluarga. Kue keranjang biasanya disusun ke atas dengan kue mangkong berwarna merah di bagian atasnya. Kue mangkong tersebut melambangkan simbol kehidupan manis yang menanjak dan mekar seperti kue mangkok.


REFERENSI


Anonim. 2016. Diakses dari http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/2011-2-01290-DS%20Bab1001.pdf


Bhadra Bodhi. 2013. ITB. bandung Diakses dari http://www.kmbitb.org/kmb/public/Bhadra%20Bodhi/Agustus2013.pdf


Fu Chunjiang, 2001, Origins Of Chinese, Jakarta: PT Elek Medi Komputindo. Hal 1

Lan Fung Yu, 1996, Sejarah Ringkas Filsafat China, Yogyakarta: Liberty. Hal 34-35










Kamis, 01 Desember 2016

Mengulik Sejarah dan Filosofi Ayam Ingkung

                Ayam Ingkung?
                Mungkin saat pertama kali mendengar nama makanan tersebut ada beberapa diantara kalian yang belum pernah mendengar nama makanan tersebut atau hanya mendengar selintas saja.
Bagi masyarakat jawa khususnya Yogyakarta makanan ini pasti sudah tidak asing lagi bagi mereka. Ya memang makanan ini merupakan ciri khas makanan yang berasal dari kota yang terkenal akan gudeg dan bakpianya tersebut.



Lalu sebenerarnya, apakah yang dimaksud Ayam Ingkung?


          Ayam ingkung merupakan kuliner tradisional khas Jawa yang berbahan dasar ayam yang dimasak secara utuh dengan bumbu-bumbu tertentu. Ayam ingkung umumnya hanya disajikan pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti upacara keagamaan, peringatan hari besar, wujud rasa syukur (selametan), dan upacara peringatan kematian. Bahan-bahan dasar pembuatan ayam ingkung juga tidak luput dari filosofi dan simbolisasi sehingga diperlukan kajian lebih mendalam untuk melestarikan kuliner khas Jawa tersebut. 

Bagaimana sejarah Ayam Ingkung hingga ada di Indonesia?


              Sejarah ayam ingkung tidak pernah diketahui awal mula ayam ingkung digunakan.                        Namun, jika dirunut dari zaman dahulu, ayam merupakan binatang yang paling dekat untuk               dipelihara dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia. Masyarakat Jawa di pedesaan          memiliki pranjen (kandang ayam) yang letaknya tidak terpisahkan dengan pekarangan rumah.            Ayam memiliki posisi penting dalam kegiatan ritual masyarakat jawa.
Dalam salah satu kajian yang diterbitkan oleh jurnal Nutrition and Food Science disebutkan bahwa ayam ingkung berasal dari kata “manengkung" yang berarti berdoa kepada Tuhan dengan kesungguhan hati. Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa ayam ingkung merupakan salah satu komponen pokok dalam tumpeng sehingga sejarahnya pun memang tidak terlepas dari sejerah perkembangan tumpeng. Diyakini bahwa awal adanya tradisi tumpeng (termasuk ayam ingkung) adalah antara 5-15 abad yang lalu karena fakta bahwa, selama waktu itu, kerajaan Jawa dipengaruhi oleh agama Hindu (Taylor, 2003 dalam Jati, 2014). Sementara itu, simbol-simbol di Tumpeng seperti beras gunung berbentuk, warna dan bahan-bahan yang dikenal sebagai refleksi dari agama Hindu (Pasha, 2015).
Menurut Dewi (2011) istilah ayam ingkung disebutkan pada Serat Centhini II dalam pembahasan mengenai iwak pitik (daging ayam). Iwak pitik dalam masakan Jawa umumnya diolah menjadi ingkung, opor, digoreng, betutu, tim dan sebagainya. Iwak pitik juga dijadikan sebagai sesaji (uba rampe) selain dimasak untuk keperluan sehari-hari. 

Filosofi apa yang terkandung dalam Ayam Ingkung?


Ayam ingkung juga merupakan simbol dari kenikmatan yakni berupa kenikmatan dapat hidup didunia sehingga sudah sewajarnya manusia harus bersyukur kepada Tuhan yang diwujudkan dengan memasak ayam menjadi hidangan yang sangat lezat. Hanya makanan lezat yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ayam ingkung juga disimbolkan sebagai rasa syukur dan kebahagiaan, ekspresi dari anugerah kebajikan yang sudah diterima sehingga manusia dapat hidup dengan baik. Hal itu dicerminkan dengan rasa gurih, nikmat, hangat, dan legit yang terdapat pada ayam ingkung.
Perwujudan ingkung yang dibentuk meringkuk mengambarkan seseorang sedang bersujud maksud bersujud disitu adalah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, membersihkan diri dari segala dosa dengan cara memohon ampunan kepada Tuhan. Diaharapkan agar manusia tersebut berserah diri dan pasrah kepada Tuhan dan berdoa memohon petunjuknya. Tujuan dilakukannya hal tersebut tidak lain adalah untuk memperoleh ketentraman dalam hidupnya (Prabawa, 2012 dan Pasha, 2015).

REFERENSI 


Dewi, TK. (2011). Kearifan Lokal “Makanan Tradisional”: Rekonstruksi Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Masyarakat Pernaskahan Nusantara.
Pasha, MK. (2015). Tradisi Suran di Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Studi tentang Fungsi dan Makna). Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Prabawa, B., 2012. Nilai Filosofi Upacara Daur Hidup Mitini di Dusun Kedung 1, Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta: Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.