Kamis, 01 Desember 2016

Mengulik Sejarah dan Filosofi Ayam Ingkung

                Ayam Ingkung?
                Mungkin saat pertama kali mendengar nama makanan tersebut ada beberapa diantara kalian yang belum pernah mendengar nama makanan tersebut atau hanya mendengar selintas saja.
Bagi masyarakat jawa khususnya Yogyakarta makanan ini pasti sudah tidak asing lagi bagi mereka. Ya memang makanan ini merupakan ciri khas makanan yang berasal dari kota yang terkenal akan gudeg dan bakpianya tersebut.



Lalu sebenerarnya, apakah yang dimaksud Ayam Ingkung?


          Ayam ingkung merupakan kuliner tradisional khas Jawa yang berbahan dasar ayam yang dimasak secara utuh dengan bumbu-bumbu tertentu. Ayam ingkung umumnya hanya disajikan pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti upacara keagamaan, peringatan hari besar, wujud rasa syukur (selametan), dan upacara peringatan kematian. Bahan-bahan dasar pembuatan ayam ingkung juga tidak luput dari filosofi dan simbolisasi sehingga diperlukan kajian lebih mendalam untuk melestarikan kuliner khas Jawa tersebut. 

Bagaimana sejarah Ayam Ingkung hingga ada di Indonesia?


              Sejarah ayam ingkung tidak pernah diketahui awal mula ayam ingkung digunakan.                        Namun, jika dirunut dari zaman dahulu, ayam merupakan binatang yang paling dekat untuk               dipelihara dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh manusia. Masyarakat Jawa di pedesaan          memiliki pranjen (kandang ayam) yang letaknya tidak terpisahkan dengan pekarangan rumah.            Ayam memiliki posisi penting dalam kegiatan ritual masyarakat jawa.
Dalam salah satu kajian yang diterbitkan oleh jurnal Nutrition and Food Science disebutkan bahwa ayam ingkung berasal dari kata “manengkung" yang berarti berdoa kepada Tuhan dengan kesungguhan hati. Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa ayam ingkung merupakan salah satu komponen pokok dalam tumpeng sehingga sejarahnya pun memang tidak terlepas dari sejerah perkembangan tumpeng. Diyakini bahwa awal adanya tradisi tumpeng (termasuk ayam ingkung) adalah antara 5-15 abad yang lalu karena fakta bahwa, selama waktu itu, kerajaan Jawa dipengaruhi oleh agama Hindu (Taylor, 2003 dalam Jati, 2014). Sementara itu, simbol-simbol di Tumpeng seperti beras gunung berbentuk, warna dan bahan-bahan yang dikenal sebagai refleksi dari agama Hindu (Pasha, 2015).
Menurut Dewi (2011) istilah ayam ingkung disebutkan pada Serat Centhini II dalam pembahasan mengenai iwak pitik (daging ayam). Iwak pitik dalam masakan Jawa umumnya diolah menjadi ingkung, opor, digoreng, betutu, tim dan sebagainya. Iwak pitik juga dijadikan sebagai sesaji (uba rampe) selain dimasak untuk keperluan sehari-hari. 

Filosofi apa yang terkandung dalam Ayam Ingkung?


Ayam ingkung juga merupakan simbol dari kenikmatan yakni berupa kenikmatan dapat hidup didunia sehingga sudah sewajarnya manusia harus bersyukur kepada Tuhan yang diwujudkan dengan memasak ayam menjadi hidangan yang sangat lezat. Hanya makanan lezat yang dipersembahkan kepada Tuhan. Ayam ingkung juga disimbolkan sebagai rasa syukur dan kebahagiaan, ekspresi dari anugerah kebajikan yang sudah diterima sehingga manusia dapat hidup dengan baik. Hal itu dicerminkan dengan rasa gurih, nikmat, hangat, dan legit yang terdapat pada ayam ingkung.
Perwujudan ingkung yang dibentuk meringkuk mengambarkan seseorang sedang bersujud maksud bersujud disitu adalah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, membersihkan diri dari segala dosa dengan cara memohon ampunan kepada Tuhan. Diaharapkan agar manusia tersebut berserah diri dan pasrah kepada Tuhan dan berdoa memohon petunjuknya. Tujuan dilakukannya hal tersebut tidak lain adalah untuk memperoleh ketentraman dalam hidupnya (Prabawa, 2012 dan Pasha, 2015).

REFERENSI 


Dewi, TK. (2011). Kearifan Lokal “Makanan Tradisional”: Rekonstruksi Naskah Jawa dan Fungsinya dalam Masyarakat. Jurnal Masyarakat Pernaskahan Nusantara.
Pasha, MK. (2015). Tradisi Suran di Dusun Kuwarisan Kelurahan Panjer Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen (Studi tentang Fungsi dan Makna). Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Prabawa, B., 2012. Nilai Filosofi Upacara Daur Hidup Mitini di Dusun Kedung 1, Desa Karang Tengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta: Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.





Tidak ada komentar: