Jumat, 28 Oktober 2016

Roti Buaya, Perlambang Kesetiaan Orang Betawi

          Jika kita berbicara mengenai makanan khas dari Indonesia tentunya tidak akan ada habisnya mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk cukup banyak yang terdiri dari berbagai suku di dalamnya. Berbagai suku tersebut tentunya memiliki makanan khas masing-masing. Salah satu makanan daerah yang kana  dibahas yaitu daerah Ibu Kota Indonesia terlebih dahulu yaitu Jakarta. Suku betawi merupakan suku asli yang mendiami wilayah Jakarta. Suku betawi memliki berbagia kudapan khas salah satunya yaitu Roti buaya.

Sepasang roti buaya untuk acara pernikahan.
    
          Jika biasanya roti hanya dianggap sebagai makanan kudapan sehari-hari saja, berbeda halnya dengan masyarakat Betawi. Masyarakat betawi menganggap bahwa roti buaya merupakan jenis kudapan yang termasuk kedalam makanan spiritual. Roti buaya sendiri memiliki sejarah dan filosofi tersendiri bagi warga betawi sehingga dianggap makanan yang sakral.

           Dalam sejarah kebudayaan Betawi, buaya merupkan salah satu hewan yang memiliki arti penting. Dahulu kala sepasang buaya putih dipercaya bermukim di kali yang dianggap keramat, seperti Kali Ancol, Kali Cideng, dan Kali Lebak Bulus sebagai penunggu. Orang Betawi sekali waktu  memberi sesajen yang biasanya terdiri dari nasi kuning, telor ayam mentah, lisong dan pisang raja. Bagi orang Betawi, sepasang buaya menyimbolkan kekuatan spiritual  yang melindungi kesetiaan dua pasangan. Menurut sejarahnya, simbol Buaya masuk dalam dunia mitos Betawi merupakan pengaruh kuat dari kebudayaan orang Dayak dan Melayu Kalimantan Barat yang hijrah ke Jakarta paling sedikit sejak abad 10 yang kemudian menjadi komponen utama yang menurunkan dan menciptakan komunitas baru yakni orang Betawi

Acara seserahan adat Betawi

               Roti buaya sangat erat kaitannya dengan adat pernikahan orang Betawi. Roti buaya merupakan salah satu seserahan yang harus dibawa oleh mempelai pria yang akan diberikan kepada mempelai wanita nantinya. Hingga saat ini belum ada yang bisa menjelaskan secara pasti kapan dimulainya tradisi seserahan roti buaya ini. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan segi etimologi, tradisi ini muncul jauh sebelum adanya masa kolonialisme. Roti buaya merupakan lambang semua cinta dan kesetian yang tiada henti dan abadi. Jika ditilik berdasarkan ensiklopedi kehewanan pun membenarkan bahwa buaya merupakan satu-satunya hewan di jagad perbinatangan yang paling setia karena seumur hidup ia habiskan waktu hanya pada satu pasangan. Sehingga tidak heran roti buaya ini digunakan pada seserahan acara pernikahan orang Betawi karena filosofinya tersebut. Yang dimaksud filosofi kesetian disini adalah nantinya calon pengantin laki-laki diharapkan siap mengoborbankan apapun untuk menjaga anak istirnya. Sebagai suami nantinya harus bertanggung jawab dalam melindungi, merawat, menjaga, seperti halnya apa yang dilakukan buaya melindungi telur dan anaknya. Setelah diterima oleh pihak pengantin perempuan, nantinya roti ini dibagikan kepada para tamu dan mitosnya jika tamu yang memakan roti buaya tersebut masih belum mempunyai pasangan maka nantinya mereka akan segera mempunyai pasangan juga.



REFERENSI :

Afrilia, D. 2015. Hukum Adat Betawi Menggunakan Roti Buaya Dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Hidayatullah. Jakarta
Rizal, J.J. 2004. Mitos dan Kearifan Lokal. Pendar Pena. Volume 2 No 5.
             






Rabu, 05 Oktober 2016

Antara Gudeg dan Kota Istimewa

Apa yang membuat orang ingin kembali lagi berkunjung ke kota Jogja?




Setiap orang yang pernah berkunjung ke kota Jogja pasti mempunyai alasan-alasan tersendiri mengapa mereka ingin kembali lagi berkunjung kesana. Beberapa alasannya diantaranya adalah banyaknya objek wisata di kota tersebut, suasana yang membuat pengunjung nyaman, bahkan kuliner yang beragam, dan lainnya. Membahas kuliner yang ada di Jogja tentu tidak akan ada ujungnya, mengingat banyak sekali berbagai jenis makanan yang tersedia. Kuliner yang ada di Jogja dikenal memiliki harga yang cukup murah mengingat kota ini juga mendapat julukan kota pelajar yang tidak jarang harga makanannya disesuaikan dengan kantong pelajar.

Gudeg khas Jogja

Dari berbagai jenis kuliner di Jogja, banyak diantara anda pasti setuju bahwa “Gudeg” menjadi salah satu ikon kuliner Jogja yang melegenda dari jaman dulu hingga sekarang. Hampir disetiap sudut kota Jogja pasti mudah sekali memenukan penjual makanan yang memiliki perpaduan rasa gurih dan sedikit manis ini. Hingga saat ini Gudeg sendiri telah dijajakan dari pedagang kaki lima, rumah makan, hingga di hotel bintang lima.

Lalu bagaimana sejarahnya hingga Gudeg bisa menjadi ikon kuliner kota Jogja?

Dikutip dari Serat Centhini, Gudeg petama kali dikenal pada tahun 1819, yaitu pada jaman mataram kuno. Pada saat ini komoditas utama yang menjadi primadona karena memiliki nilai jual tinggi   adalah jati. Saat itu banyak  pepohonan yang ditebang salah satunya nangka karena dinilai tidak memiliki nilai jual. Nangka tersebut dimanfaatkan utuk membuat makanan bagi para pekerja. Sebutan atau nama Gudeg sendiri tidak lain dikarenakanan dari cara pengolahan makanannya, yaitu diaduk yang dalam bahasa jawa berarti “diudeg. Diudeg sendiri berarti mengolahnya dengan cara diaduk berulang agar tidak gosong atau yang sering disebut angudeg-udeg.


Universitas Gadjah Mada tempo dulu


Adanya Universitas Gadjah Mada (UGM) yang  juga memiliki andil besar dalam perkembangan Gudeg di kota Jogja. Universitas tersebut menjadi salah satu pusat untuk pendidikan pada saat itu. Banyak para mahaiswa, staff dan pegawai kampus tersebut yang menjadikan gudeg sebagai makanan sehari-hari. Banyak juga para mahasiswa rantau yang membawa gudeg tersebut sebagai oleh-oleh untuk dibawa ke kampung halaman mereka masing masing. Dan secara tidak langsung mempromosikan gudeg sebagai salah satu makanan khas yang menjadi ikon kuliner Jogja.

Berdasarkan jenisnya gudeg dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya :
Gudeg basah : memiliki kadar air yang tinggi dan disajkian dengan areh (santan) kental 
Gudeg kering : memiliki kadar air yang sedikit dan disajkian dengan areh (santan) encer

Gudeg Solo :  gudeg yang arehnya berwarna putih 

Gudeg Manggar :  gudeg berbahan baku putik bunga kelapa
Jadi, gudeg jenis manakah yang membuat anda tertarik untuk mencoba? 

Jika anda berkunjung lagi ke Kota Jogja, bisa mengunjungi sentra gudeg yang berlokasi di daerah Wijilan. Disana anda dapat menemukan berbagai macam jenis gudeg dari berbagai merk. Beberapa yang sudah terkenal antara lain adalah Gudeg Yu Jum dan Gudeg Bu Slamet yang keduanya pertama kali membuka lapak di Wijilan pada tahun 1946.

 Referensi 

Abadi dan Budhy. 2015. DAERAH ISTIMEWA GUDEG (Video Dokumenter Tentang Riwayat Gudeg Sebagai Ikon Kota Jogja). Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Gardjito, Murdijati dan Eva Linda Dewi P. Gudeg Yogyakarta. (2012). Yogyakarta: Pusat Kajian Makanan Masyarakat Yogyakarta.

Triwitono, P. 1993. Akibat Perebusan Proses Pengolahan Gudeg Kering dan Sifat-Sifat Serat Diet Nangka Muda. Program Studi Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Tekologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.